Pada pukul 22.00, Peter menyerah. Pihak keluarga memboyongnya ke rumahsakit lantaran rintihan kesakitan yang tak kunjung reda. Malam itu rohaniawan di Gereja Baptis Indonesia, Semarang, Jawa Tengah, itu hanya menjalani pencitraan USG. "Saya menolak opname karena bau rumahsakit membuat seluruh tubuh terasa sakit," kata Peter. Untuk melengkapi pemeriksaan, esoknya ia kembali ke rumahsakit. Tujuannya menjalani pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT-scan).
Beragam fungsi
Citra pemindaian kedua alat itu menjadi bekalnya berkonsultasi dengan dokter spesialis kanker. Saat memeriksa citra USG dan CT-Scan, sang paramedis terkejut, lalu menggelengkan kepala. Seonggok daging ganas setebal 10 cm dengan diameter 7-8 cm bercokol di organ hati Peter. "Bapak mengidap kanker hati stadium lanjut, tetapi punya stamina hebat. Biasanya kanker lever setebal 2 cm saja membuat si penderitanya terkapar," tutur Peter menirukan ucapan sang dokter. Tanpa tindakan medis, dokter menyatakan waktu Peter hanya tersisa setahun.
Pernyataan dokter membuat ayah 3 anak itu bagaikan tersambar petir pada siang bolong. Maklum, ia peduli kebugaran menghindari minuman keras, rokok, atau obat-obatan. Ia bahkan aktif berolahraga tenis dan lari. Menurut Dr dr Hardhi Pranata SpS MARS, dokter spesialis di Rumahsakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, penyebab kerusakan hati beragam. Mulai dari faktor keturunan, pola konsumsi, infeksi virus, hingga gaya hidup.
Lever alias organ hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh. Fungsinya beragam, mulai dari menetralkan racun, menyusun protein, memproduksi empedu untuk mencerna lemak atau kolesterol, sampai membuang sampah melalui usus besar. Masih ada fungsi mengatur pembekuan darah dengan memproduksi keping darah, menyusun protein kode untuk mengaktifkan proses-proses tertentu dalam tubuh, hingga menyimpan cadangan kelebihan gula.
Hati juga menjadi "pabrik" sel darah merah. Saat umurnya lebih dari 120 hari, sel-sel darah merah itu dibongkar kembali di hati. Kandungan bilirubin dan hemoglobin untuk menyusun sel darah merah baru. Segudang fungsi itu dijalankan dalam organ berbobot hanya 1,3-1,7 kg dalam tubuh manusia dewasa yang berbobot 70 kg itu. Efeknya gangguan hati seremeh apa pun berefek ke seluruh tubuh.
Cara mutakhir
Seandainya Peter tanggap, gejala gangguan hati sejatinya tampak lebih dari 10 tahun silam. Saat itu, seorang rekan mengatakan kalau putih mata Peter tampak kekuningan. Namun, ia abai karena tidak merasakan keluhan apa pun. Menurut dr Hardhi Pranata, aktivitas tinggi dan kurang istirahat menjadikan hati bekerja lebih keras untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Jika itu terjadi dalam waktu lama, hati bakal rusak. Kondisi itulah yang dialami Peter.
Spesialis kanker mendiagnosis Peter mengidap kanker hati stadium 4 dan merekomendasikan ia menjalani pengobatan dengan metode terbaru. Metode itu berjuluk TACE (Transcatheter arterial chemo embolization). Cara itu menghentikan pasokan darah ke dan dari jaringan kanker sehingga jaringan itu melemah. Selanjutnya jaringan itu diberi obat kemo dosis tinggi sampai akhirnya kanker mati. "Cara itu diklaim lebih cepat dan lebih manjur menyembuhkan kanker," kata Hardhi. Peter menolak pengobatan itu lantaran tidak sanggup menanggung biaya TACE. Ia lantas meminta pendapat kedua kepada dokter yang menjadi langganan keluarga.
Sang dokter merekomendasikan Peter menemui dr Paulus Wahyudi Halim MedChir, dokter penganjur herbal di Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Ditemani sang istri, ia lantas terbang ke Jakarta dan langsung menuju Serpong. Melihat kondisi kanker yang diidap Peter, Paulus pun tidak berani menjanjikan kesembuhan. "Mari berusaha dan berdoa bersama," tutur Paulus. Dokter alumnus Universitas Degil Studi Padova, Italia, itu lantas meresepkan ramuan herbal dengan kandungan utama daun sirsak untuk Peter.
Riset ilmiah
Menurut Paulus, daun sirsak (Anonna muricata) mampu menembus jaringan kanker. Sejatinya, terapi di tempat Paulus terbilang sangat merepotkan. Peter mesti jauh-jauh menempuh jarak Semarang-Jakarta dengan pesawat. Sudah begitu, ia harus berangkat pada Sabtu agar mendapat waktu untuk berkonsultasi pada Senin. Efeknya, ia harus menginap 2 malam. Lantaran kesulitan berjalan, ia mesti meminta bantuan awak maskapai untuk menyediakan kursi roda ketika naik-turun pesawat.
Sudah begitu, Paulus memberikan 9 jenis kapsul dan 2 jamu yang mesti ia minum 4 kali sehari. "Setiap hari saya minum 36 kapsul," kata Peter. Ketelatenan dan kesungguhan Peter terbayar pada pekan kedua. Suatu pagi, ia mampu bangkit sendiri dari tempat tidur. Sebelumnya, sekadar beranjak duduk dari posisi berbaring pun ia harus dibantu. Sebulan berselang, ia mampu berjalan tanpa dipapah. Dalam kunjungan berikutnya ke tampat Paulus, ia tidak lagi memerlukan kursi roda untuk masuk keluar pesawat.
Dalam kunjungan berikutnya, Paulus pun takjub melihat kemajuan Peter. "Dia memperoleh mujizat," ungkap dokter kelahiran Padang, Sumatera Barat, itu.
Sumber: Trubus 535-Juni 2014/XLV hal. 110
Sumber: Trubus 535-Juni 2014/XLV hal. 110