Seledri Jaga Hati

Sirosis hati penyakit mematikan. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada Februari 2013 melaporkan rata-rata prevalensi sirosis hati mencapai 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2006, penyakit sirosis hati menyerang 170 juta jiwa. Dari 55 negara yang melaporkan kepada WHO, setiap tahun 310.000 orang meinggal akibat sirosis hati. Beberapa tahun terakhir pasien menginggal karena sirosis hati meningkat 500 ribu jiwa.

Menurut ahli fungsi hati dari Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang, dr Hardian, salah satu penyebab sirosis hati adalah kerusakan fungsi hati akibat paparan radikal bebas. Radikal bebas berupa senyawa atau molekul dengan satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbit luarnya. Oleh karena itu untuk mencapai kestabilan ia mencuri molekul di sekitarnya. Terjadilah reaksi berantai membentuk radikal baru. Namun, kini serangan itu bisa ditekan dengan konsumsi daun seledri.
Seledri Jaga Hati
Seledri sang penjaga hati

Karbon tetraklorida
Seledri Aphium graveolens memang mujarab mengatasi sirosis hati. Itulah hasil riset Lukas Handoko dari Fakultas Kedokteran, Universitas DIponegoro pada 2005. Mula-mula Lukas menyiapkan 20 tikus wistar jantan berumur 12 pekan berbobot 180-220 gram. Tikus itu sehat dan dipelihara secara normal untuk proses adaptasi selama sepekan.

Lukas kemudian membagi tikus-tikus menjadi 2 kelompok, kontrol mendapat diet standar selama sepekan. Hewan pengerat itu juga diberi karbon tetraklorida (CCL4) sebanyak 0,275 mg/g berbobot tubuh pada hari ke-8.

Menurut dr Hardian, di dalam tubuh, karbon tetraklorida terurai menjadi radikal bebas dalam bentuk triklorometil (CCL3). "Radikal bebas menyebabkan gangguan integritas membran hepatosit sehingga berbagai enzim dari hepatosit, antara lain Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic Piruvic Transaminase (SGPT) keluar. Enzim yang keluar dari hepatosit meningkat kadarnya dalam serum dan menjadi indikator dan kerusakan hepar" ujarnya.

Kelompok kedua adalah kelompok perlakuan. Selain perlakuan seperti pada kelompok pertama, Lukas juga memberikan ekstrak daun seledri dengan dosis 12,096 g/kg bobot tubuh per hari selama sepekan. Sebelum perlakuan, periset itu memeriksa kadar SGOT/SGPT semua tikus dengan cara pengambilan darah melalui pembuluh vena di ekor tikus. Pada hari ke-9, ia mematikan semua tikus lalu memeriksa kembali SGOT/SGPT dengan mengambil darah melalui jantung.

Hasilnya pada kelompok kontrol, SGOT tikus meningkat signifikan. SGOT awal 146,10 unit per liter serum (u/l) menjadi 620,60 u/l atau bertambah 474,50 u/l. Bandingkan dengan kelompok tikus perlakuan yang hanya bertambah 159,70 u/l dari SGOT awal 136,6 u/l menjadi 296,30 u/l.

Begitu juga pada angka SGPT. Pada tikus kontrol angka SGPT melompat dari 40,50 u/l menjadi 729,90 u/l atau bertambah 709,40 u/l. Sementara tikus perlakuan hanya bertambah 283,1 u/l, dari SGPT awal sebesar 38,5 u/l menjadi 321,6 u/l. "SGPT dan SGOT menjadi parameter kinerja fungsi hati". ujar dr Hardian.

Flavonoid
Menurut dokter spesialis penyakit dalam di Rumah sakit dr Soetomo, Surabaya dr Arijanto Jonosewojo, SpPD, peningkatan angka SGPT dan SGOT salah satu indikasi peradangan hati. "Jika tak tertangani, pada kondisi lanjut bisa koma hepatikum atau kerusakan kronis pada hati" ujar Ketua Program Studi Obat Tradisional, Universitas Airlangga, Surabaya, itu.

Menurut dr Hardian, karbon tetraklorida merusak dinding sel hati. Kemudian bisa menyebabkan trigliserida naik sehingga kolesterol naik. Pada kerusakan yang lebih luas yang pertama hanya pelemakan hati dan degenerasi sel hati. Degenerasi hati kerusakan hati lebih parah, "Hasil akhirnya bisa menyebabkan sirosis hati," ujar dr Hardian. Pada sirosis hati, jaringan hati tidak berfungsi dan mengeras.

Pengajar Fisiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro itu sekaligus pembimbing pada penelitian itu mengatakan, pada tikus kontrol tidak ada senyawa yang mampu menahan bertambahnya SGPT dan SGOT akibat pemberian karbon tetraklorida. Sementara pada tikus perlakuan, ekstrak daun seledri membantu menahan laju SGPT dan SGOT akibat pemberian karbon tetraklorida. "Ekstrak daun seledri terbukti mampu menahan radikal bebas dalam bentuk triklorometil yang dapat merusak hati" ujar pria kelahiran Semarang, 14 April 1963 itu.

Drs Gunardi MS, Apt, ahli kimia dari Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro mengungkapkan hal senada. Seledri mengandung berbagai zat aktif, salah satu di antaranya flavonoid sebagai antioksidan. "Flavonoid berpengaruh dalam menghambat kerusakan hepar dengan cara mengikat radikal bebas sehingga dampaknya terhadap hepar berkurang" ujar pengajar mata kuliah kimia kedokteran itu.

Farmakolog dari Institut Teknologi Bandung, Dr Sukrasno menuturkan kandungan senyawa flavonoid pada seledri memiliki peranan untuk memperbaiki fungsi hati. Lebih spesifik lagi, flavonoid pada seledri bernama apigenin. "Apigenin termasuk golongan antioksidan yang mencegah penyakit-penyakit akibat paparan radikal bebas" ujarnya. Selain mengandung dari radikal bebas, apigenin juga mampu mencegah penyempitan pembuluh darah.

Masyarakat bisa mengonsumsi tanaman kerabat wortel itu dengan beragam cara, misalnya menjadikannya sebagai bumbu masakan. Selain flavonoid, seledri juga kaya vitamin B kompleks, vitamin A, vitamin K, dan vitamin E. "Seledri aman dikonsumsi sehari-hari sesuai batas kewajaran," ujarnya.

Selama ini seledri acap dimanfaatkan di dapur sebagai bumbu. Para herbalis jarang meresepkan tanaman anggota famili Apiaceae itu untuk mengatasi gangguan kesehatan. Padahal, riset ilmiah membuktikan, seledri manjur mengatasi gangguan hati.

Sumber : Trubus 539-Oktober 2014/XLV hal. 104