Walaupun dunia mode termasuk jenis gerakan minoritas, tapi gemanya mampu mempengaruhi arah tren dalam hal berbusana dalam kurun waktu tertentu. Pada akhir tahun '30-an, terutama pada saat bursa efek Wall Street di Amerika sedang kacau, efeknya terbawa sampai ke pusat mode dunia yaitu Paris. Setelan rok lurus panjang dan semi jas bergaris tegas menjadi tampilan yang sangat penting. Coco Chanel, Jean Patou, dan Edward Molyneux merupakan tokoh-tokoh perancang yang sukses mengangkat model berbusana ini menjadi berkelas tinggi.
Model semi jas (tailored) menjadi dandanan klasik dan menjadi pilihan para wanita karir pada saat itu. Penampilan model busana maskulin yang merupakan perlambang kesuksesan seorang wanita dalam berkarir menjadi seperti 'seragam resmi' mereka.
Wanita eksekutif pada era perang dunia memang masih sedikit jumlahnya. Kehadiran mereka pada pertemuan-pertemuan bisnis yang dominan kaum pria, memang masih dipandang sebelah mata. Akibatnya secara psikologis wanita karir ini tampil kurang percaya diri.
Pilihan setelan bergaris tegas yang cenderung bergaya maskulin terutama berupa setelan jas berwarna gelap dengan pelengkap topi yang chic, blus sutra, sarung tangan, akhirnya merupakan pilihan efektif untuk menyamarkan rasa kurang percaya diri mereka. Bahkan, aksesori kalung mutiara diganti dengan pelengkap dasi. Dengan berpakaian ala pria ini, mungkin saja membuat para wanita merasa sejajar dengan rekan kerja pria.
Setelah perang dunia usai, model busana maskulin yang terdiri atas celana panjang, kemeja, dan dasi semakin banyak penggemarnya. Bahkan, sampai sekarang pun model maskulin dapat dikatakan menjadi model konservatif. Efek positif dari perkembangan model ini, adanya kemunculan dasi yang bisa dikenakan oleh kaum pria maupun wanita.